Ketika senja mengendap
merapat di dekat bilikku
aku mendekap kelumit kain yang sudah lusuh
Kutatapi layar kaca itu
Satu demi satu saluran pengantar gambar
kulihat bumi seperti renta
sekejap meluap bah di Wasior Papua
menyusul Jakarta yang meronta-ronta kesesakan
seakan nafasnya akan berhenti
Tsunami dalam sekejap menelan bumi Mentawai
lalu Merapi menggeliat dan memuntahkan bara merah darah
serta abu yang menyesakkan
Mayat-mayat bergelimpangan
Para perempuan, orang-orang tua dan anak-anak tergolek lesu
pasrah dan tak berdaya
Para lelaki muda masih mencoba menunjukkan kesiagapannya menghadang gelagat alam
Aku terdiam
Aku terpana
Dan bulu-bulu kulitku perlahan berdiri
kugenggam telepon tuaku
dan kucari-cari nomor-nomor yang kukenali
di Papua, di Mentawai dan di Sleman
Lalu aku telepon mereka satu persatu
“Apa kabar kalian….kawan?
Apa kabar kalian saudaraku?
Apakah kalian baik-baik saja?”
Dan setiap kata “baik” yang kudengar selalu bersambut syukur
Dan setiap kata “mudah-mudahan” yang kudengar langsung bersambut pujian
Bahkan ketika mereka tak sempat menanyakan kondisi kamipun
kami ikhlaskan dengan segenap hati
Sesekali aku menggumam
mengucap doa yang terkadang tidak berarti
menyapa Sang Khalik, sembari ingin bertanya
mengapa Engkau memberi negeri kami “anugerah” yang masih harus diperah
Tetapi aku tidak berani menatap wajahNya
dan sepertinya Ia balik bertanya “Mana buktinya bahwa kalian percaya kepadaKu?”
Air hangat pelahan meleleh dipipi
dan aku hanya dapat berkata “Hanya doa kami inilah bukti bahwa kami percaya kepadaMu.
Kuatkanlah kami di negeri yang telah diwariskan oleh nenek moyang kami.
Kuatkanlah kami di dalam memerah “anugerah” yang telah Engkau limpahkan kepada kami.
Supaya kami semakin dewasa.
Supaya kami semakin bijaksana.
Supaya kami semakin percaya, bahwa kami bukan apa-apa di hadapanMu.”